Budaya Batak (Sumatera Utara)




   

    Gambaran singkat mengenai masyarakat SumateraUtara yang berdasarkan komposisi terdiri dari enam sub-grup Batak yaitu : dari daerah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi serta pegunungan Bukit Barisan yang membujur ditengah-tengah dari Utara ke Selatan. Suku bangsa Batak dari Pulau Sumatra Utara. Daerah asal kediaman orang Batak dikenal dengan Daratan Tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, Simalungun, Toba, Mandailing dan Tapanuli Tengah. Daerah ini dilalui oleh rangkaian Bukit Barisan di daerah Sumatra Utara dan terdapat sebuah danau besar dengan nama Danau Toba yang menjadi orang Batak Toba,Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing dan Angkola Sipirok. Keenam sub-grup Batak ini memiliki akar kebudayaan yang sama seperti adatistiadat dan kekerabatan. Keenam sub-group tersebut terdistribusi di sekelilingDanau Toba kecuali Mandailing dan Angkola yang hidup relatif jauh dari daerahDanau Toba, dekat ke perbatasan Sumatera Barat, di dalam kehidupan sehari-hari banyak orang mengasosiasikan kata “Batak” dengan “orang Batak Toba”.Sebaliknya grup yang lain lebih memilih menggunakan nama sub-grupnya sepertiKaro, Pakpak, Simalungun, Mandailing dan Angkola


Perkembangan penduduk:
Hasil gambar untuk danau toba hd
Kota Medan merupakan pintu gerbang wilayah Indonesia bagian barat dengan keberadaan Pelabuhan Belawan dan Bandar Udara Internasional Kuala Namu yang merupakan bandara terbesar kedua di Indonesia. Akses dari pusat kota menuju pelabuhan dan bandara dilengkapi oleh jalan tol dan kereta api. Medan adalah kota pertama di Indonesia yang mengintegrasikan bandara dengan kereta api. Berbatasan dengan Selat Malaka menjadikan Medan kota perdagangan, industri, dan bisnis yang sangat penting di Indonesia.
Medan berawal dari sebuah kampung yang didirikan oleh Guru Patimpus di pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura. Hari jadi Kota Medan ditetapkan pada tanggal 1 Juli 1590. Selanjutnya pada tahun 1632, Medan dijadikan pusat pemerintahan Kesultanan Deli, sebuah kerajaan Melayu. Bangsa Eropa mulai menemukan Medan sejak kedatangan John Anderson dari Inggris pada tahun 1823. Peradaban di Medan terus berkembang hingga Pemerintah Hindia Belanda memberikan status kota dan menjadikannya pusat pemerintahan Karesidenan Sumatera Timur. Memasuki abad ke-20, Medan menjadi kota yang penting di luar Jawa, terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran. Unit-unit produksi tersebut dikelompokkan ke dalam 9 (sembilan) lapangan usaha, yaitu:  1) Pertanian;
 2) Pertambangan dan penggalian;
 3) Industri pengolahan;
 4) Listrik dan air bersih;
 5) Bangunan;
 6) Perdagangan, hotel dan restoran;
 7) Pengangkutan dan komunikasi;
 8) Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan;
 9) Jasa-jasa.

Faktor Demografi:
Gambar terkait
   Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi keenam berpenduduk terbanyak di Indonesia dan provinsi berpenduduk terbesar di luar Pulau Jawa. Berdasarkan hasil proyeksi terhadap hasil Sensus Penduduk Tahun 2010, dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 1,11% jumlah penduduk Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011 diperkirakan mencapai 13.103.596 orang, yang terdiri atas 6.544.092 laki-laki dan 6.559.504 perempuan.
kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Langkat adalah tiga kabupaten/kota dengan urutan teratas yang memiliki jumlah penduduk terbanyak yang masing-masing berjumlah 2.117.224 orang (16,16%), 1.807.173 orang (13,79%), dan 976.582 orang (7,45%). Sedangkan Kabupaten Pakpak Bharat merupakan kabupaten dengan jumlah penduduk pali4ng sedikit yang berjumlah 40.884 orang (0,31 persen). Dengan luas wilayah Provinsi Sumatera Utara sekitar 71.680,68 kilometer persegi yang didiami oleh 13.103.596 orang maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Provinsi Sumatera Utara adalah sebanyak 183 orang per kilo meter persegi. Kabupaten/kota yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Kota Medan yakni sebanyak 7.987 orang per kilo meter persegi sedangkan yang paling rendah adalah Kabupaten Pakpak Bharat yakni sebanyak 34 orang per kilo meter persegi.

Rasio jenis kelamin (sex ratio) penduduk Provinsi Sumatera Utara adalah sebesar 99,77, yang artinya jumlah penduduk laki-laki lebih sedikit dibandingkan jumlah penduduk perempuan. Sex ratio terbesar terdapat di Kabupaten Labuhanbatu Selatan yakni sebesar 104,32 dan yang terkecil terdapat di Kabupaten Nias Barat yakni sebesar 91,86.

Permasalahan diSuku Batak:
Gambar terkait
  Suku Batak dikenal sebagai salah satu suku terbesar yang ada di Indonesia, sekaligus sebagai suku yang berpegang teguh pada budayanya. Pada sistem kekerabatan Batak, dikenal sistem Dalihan Na Tolu (Tungku Nan Tiga) yang berfungsi sebagai tata kelakuan untuk mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan orang Batak Toba. Harahap dan Siahaan menyatakan, bahwa orang Batak sangat menghayati Dalihan Na Tolu sebagai sebuah sistem yang memberi pedoman bagi orientasi, persepsi dan definisi dalam realitas masyarakat Batak Toba (1987:5).
 Dengan demikian orang Batak sangat menjunjung dan melestarikan nilai-nilai budaya tersebut, sebab jika tidak melaksanakan adat-istiadat akan disebut sebagai orang yang tidak maradat. Pernikahan Masyarakat Batak berpegang teguh pada sistem Dalihan Na Tolu. Suku Batak meyakini bahwa pernikahan bukan hanya persoalan ikatan perempuan dan laki-laki menjadi sepasang suami istri yang sah di hadapan agama, namun pernikahan merupakan sebuah silsilah baru yang dapat meneruskan keturunan dan mempertahankan silsilah lama. 2 Di dalam sebuah perkawinan, suku Batak Toba dikenal sering menggunakan sistem perkawinan jujur (sinamot) yaitu perempuan yang dinikahkan oleh keluarganya kepada laki-laki dengan syarat membayar harga sinamot, dengan arti bahwa status marga perempuan sebagai anak dari ayahnya akan dilepaskan dan harus mengikut status keluarga dari suaminya.
 Sinamot atau harga maskawin merupakan poin dasar yang tidak dapat dipisahkan dalam perkawinan adat Batak, sebab marhata sinamot (merundingkan) adalah penentu apakah sebuah pernikahan dapat dilaksanakan. Perkawinan Batak harus berlandaskan pada adat-istiadat yang sudah ditentukan. Sebuah perkawinan dapat terlaksana apabila melewati tahap demi tahap, seperti Martandang (berkunjung), memberi tanda, merundingkan uang mahar sinamot), dan persetujuan keluarga dari kedua belah pihak Sinamot merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi; terkadang sebuah rencana perkawinan dapat saja dibatalkan akibat harga sinamot yang tidak sesuai dari perbincangan antara mempelai laki-laki dan perempuan. Bukan hanya karena ketidaksepakatan antara kedua orangtua mempelai saja namun kerabat atau keluarga lainnya juga ikut memengaruhi. Pembayaran sinamot (harga) berdampak pada kedudukan perempuan dalam keluarga. Kedudukan suami istri tidaklah seimbang maksudnya kedudukan suami lebih tinggi dibandingkan perempuan (suami 3 sebagai pemimpin atau kepala keluarga sedangkan perempuan sebagai ibu rumah tangga). 

  Hampir dalam seluruh aspek kehidupan, laki-laki menjadi penguasa atas perempuan, baik dalam aspek ekonomi, politik, agama, adatistiadat. Hal ini disebabkan karena hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah bentuk dominasi dari kekuasaan dan didukung oleh gender sehingga menghasilkan proses budaya yang dibakukan dan akhirnya berakhir pada budaya patriarki artinya laki-laki mengontrol atas perempuan. Orang Batak mengenal tiga falsafah hidup yaitu hamoraon, hagabeon, hasangapon (kekayaan, keturunan dan kehormatan). Kehidupan masyarakat Batak dilandasai pada ketiga falsafah tersebut. Suku Batak meyakini jika memiliki banyak keturunan (gabe) maka kehidupan akan bahagia, sebab jika banyak keturunan maka harta akan semakin berlimpah dan kehormatan pun akan menjadi miliknya. Dengan demikian suku Batak berusaha selalu menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin. Banyak anak-anak orang Batak bersekolah ke luar Sumatera, merantau jauh ke negeri orang untuk mendapatkan pendidikan dan pengetahuan yang lebih baik. Dahulu anak laki-laki lah yang selalu diutamakan untuk disekolahkan tinggitinggi, namun seiring perkembangan jaman, anak perempuan pun ikut disekolahkan. Perempuan Batak yang memperoleh pendidikan tinggi akan memengaruhi tingkat derajat sosialnya di masyarakat. Gelar yang diperoleh melalui perguruan tinggi menjadi suatu kepuasan tersendiri bagi orang Batak, 4 apalagi gelar Sarjana dianggap sebagai kehormatan serta meningkatkan derajat sosial seseorang. Melalui gelar kesarjanaan tersebut, orang Batak akan memperoleh status, jabatan, kekuasaan dan kekayaan. Dengan demikian, seorang perempuan yang memeroleh pendidikan, jabatan, ekonomi yang tinggi akan memengaruhi tingkat kebesaran sinamot pada pernikahan. Perempuan yang disekolahkan tinggitinggi adalah dengan tujuan untuk memeroleh sinamot yang tinggi. Hal seperti itulah yang menjadi persoalan penting, pendidikan dijadikan sebagai tolak.

Kebudayaan Suku Batak:
  Meskipun terlihat sama, suku Batak sebenarnya terdiri dari beberapa etnis atau sub suku. Masing-masing etnis memiliki ciri yang khas yang berbeda, khususnya pada dialek bahasa yang digunakan. Beberapa etnis Batak yang dikategorikan sebagai suku Batak, diantaranya :
  • Batak Toba
Etnis suku Batak Toba merupakan etnis Batak yang mendiami wilayah kabupaten Toba Samosir. Salah satu ciri khas Batak Toba bisa dikenali dari marga yang senantiasa melekat pada nama orang suku Batak. Marga-marga yang merupakan etnis Batak Toba adalah Hutabarat, Panggabean, Simorangkir, Hutagalung, Hutapea, dan Lumbantobing. Keenam marga tersebut merupakan keturunan dari Guru Mangaloksa yang merupakan salah satu anak dari Raja Hasibuan yang mendiami wilayah Toba.
Selain itu, ada juga marga Nasution dan Siahaan yang berada di wilayah Padang Sidempuan yang masih merupakan saudara karena berasal dari leluhur yang sama. Kedua marga tersebut meskipun tidak merujuk kepada keturunan Guru Mangaloksa namun masuk ke dalam etnis Batak Toba.
  • Batak Simalungun
Etnis Simalungun mendiami wilayah kabupaten Simalungun. Marga asli etnis Simalungun adalah Damanik, Purba, Saragih, dan Sinaga. Keempat marga tersebut merujuk kepada keturunan raja penguasa Simalungun pada jaman dahulu. Meskipun demikian, terdapat juga masyarakat Batak Simalungun yang tidak berketurunan langsung dengan 4 marga tersebut namun karena sudah lama mendiami wilayah Simalungun, mereka masuk menjadi bagian dari 4 sub marga tersebut.
Batak simalungun berada di wilayah perbatasan antara Batak Karo dengan Batak Toba. Oleh sebab itu, bahasa yang digunakan oleh etnis simalungun merupakan perpaduan dari Batak Toba dengan Batak Karo.
  • Batak Karo
Etnis Batak Karo merupakan masyarakat suku Batak yang mendiami wilayah dataran tinggi Karo. Batak karo memiliki bahasa tersendiri yang disebut Cakap Karo. Orang Batak Karo memiliki kepercayaan bahwa mereka sebenarnya bukan kesatuan kekerabatan dengan Suku Batak. Melainkan etnis Karo adalah suku tersendiri.
Penyebutan suku Batak dinisbatkan kepada keturunan Raja Batak yang kerajaannya menguasai wilayah sekitar Batak-Toba. Pada dasarnya etnis Karo tidak mau disebut Batak karena masyarakat Karo sudah ada jauh sebelum Raja Batak ada.  Namun bila disandarkan pada wilayah atau geografis orang karo bisa dikategorisasikan sebagai bagian dari Batak.
  • Batak Pakpak
Suku Batak pakpak banyak mendiami wilayah sumatera utara yang berbatasan lanngsung dengan Aceh, dan sebagian juga berada dalam wilayah Aceh (baca juga : kebudayaan suku Aceh yang menarik). Sebagaimana masyarakat Karo, Batak pakpak juga memiliki dialek bahasanya tersendiri. Bahasa Batak Pakpak disebut sebagai bahasa Dairi.
Suku Batak pakpak kaya akan jenis marga. Beberapa diantaranya seperti Anak Ampun, Angkat, Bako, Bancin, Banurea, Berampu, Berasa, Berutu, Bintang, Boang Manalu, Capah Cehun, Cibro, Cibero Penarik, Gajah, Gajah Manik, Goci, Kaloko, Kabeaken, Kesogihen, Kombih, Kudadiri, Kulelo, Lembeng, Lingga, Maha, Maharaja, Manik, Manik Sikettaang, Manjerang, Matanari, Meka, Mucut, Mungkur, Munte, Padang, Padang Batanghari, Pasi, Pinayungen, Simbacang, Simbello, Simeratah, Sinamo, Sirimo Keling, Solin, Sitakar, Sagala, Sambo, Saraan, Sidabang, Sikettang, Simaibang, Tendang, Tinambunan, Tinendung, Tinjoan, Tumangger, Turuten, Ujung.
  • Suku Batak Mandailing/Angkola
Etnis Batak Mandailing mendiami wilayah Mandailing-Natal. Namun persebarannya sendiri juga meliputi beberapa wilayah seperti di kabupaten Padang Lawas, kabupaten Padang Lawas Utara, dan sebagian kabupaten Tapanuli Selatan yang berada di provinsi Sumatera Utara. Beberapa budaya Batak Mandailing merupakan serapan dari budaya Minangkabau.
Oleh sebab itu, seringkali etnis Batak Mandailing ini sempat diklaim merupakan bagian dari suku Minangkabau. Namun dilihat dari sebagian besar adat kebudayaannya, etnis Batak Mandailing masih lebih dekat dengan kebudayaan suku Batak dibandingkan dengan kebudayaan suku Minangkabau.
Sedangkan dari nama marga, beberapa dari Batak Mandailing menganut sistem marga matrilineal. Beberapa marga Batak Mandailing seperti, Lubis, Nasution, Harahap, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang, Hasibuan, Rambe, Dalimunthe, Rangkuti, Tanjung, Mardia, Daulay, Matondang dan Hutasuhut.

Adat Menikah

Dalam melaksanakan pernikahan, orang suku Batak menganut sistem sosial kemargaan. Marga merupakan hal penting bagi suku Batak yang menjadi acuan dasar di dalam menetapkan calon pasangan yang ingin dinikahi. Beberapa aturan dasar dalam konsep pernikahan kebudayaan suku Batak adalah :
  • Larangan Satu Marga
Suku Batak memiliki tradisi pernikahan bahwa seseorang yang akan menikah maka pasangan calonnya harus berasal dari marga yang berbeda. Bila seorang suku Batak ingin menikahi orang dari luar suku Batak, maka pasangan yang berasal dari luar suku Batak tersebut harus diadopsi terlebih dahulu oleh salah satu marga Batak yang berbeda. Larangan ini berkaitan dengan kekerabatan marga, setiap suku Batak yang berada dalam satu marga masih menganggap satu bagian keluarga Besar, sehingga tidak boleh untuk melangsungkan pernikahan dengan saudara.
  • Pariban
Suku Batak memiliki konsep perjodohan yang disebut pariban. Pariban maknanya adalah sepupu. Orang suku Batak dibolehkan untuk menikahi paribannya bila mereka sama-sama mau. Sepupu disini, maknanya bukanlah sembarang sepupu. Sepupu yang dimaksud adalah, misalkan untuk perempuan, maka bisa menikah dengan anak laki-laki dari adik perempuan ayah. Sedangkan kalau laki-laki,maka bisa menikah dengan anak perempuan dari adik laki-laki ibu.
  • Tuhor
Tuhor artinya adalah uang untuk membeli perempuan ketika ada laki-laki yang ingin melamar. Konsep Tuhor hampir sama dengan konsep Panaik pada adat Makassar. Uang Tuhor yang diberikan oleh laki-laki untuk membeli pasangan perempuan dari keluarganya ini, nantinya akan digunakan sebagai biaya pernikahan. Penggunaan uang Tuhor adalah sesuai dengan kesepakatan antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan.
Biasanya, besaran Tuhor ini tergantung dari tingkat pendidikan si perempuan. Bila tingkat pendidikannya tinggi, biasanya pihak keluarga perempuan akan meminta harga Tuhor yang juga tinggi. Adat ini masih berlaku bagi sebagian orang Batak. Namun, bagi orang Batak yang memiliki cara berpikir yang sudah moderat, biasanya tidak terlalu mempermasalahkan tuhor ini.

Martarombo

Orang suku batak, sangat menjunjung tinggi kekerabatan yang berasal dari marga. Oleh sebab itu, dalam salah satu tradisi suku Batak terdapat yang namanya “Martarombo”. Martarombo adalah mencari-cari hubungan saudara satu dengan yang lainnya. Bila dua orang Batak dengan marga yang sama saling bertemu, mereka biasanya akan saling mencari titik kekerabatan yang menghubungkan persaudaraan mereka. Bagi orang Batak yang tidak mengenali silsilah kemargaannya sendiri maka akan disebut sebagai “Nalilu’, yang artinya orang Batak kesasar.
Oleh sebab itu, orang Batak diwajibkan untuk mengetahui silsilah minimal nenek moyang yang menurunkan marganya atau ‘dongan tubu’ (teman semarganya). Hal ini diperlukan agar seseorang tidak kehilangan kekerabatan (partuturanna) dalam suatu marga. Ketidaktahuan ini akan bisa mengakibatkan ia bisa jauh dari orang lain yang semarga.

Ucapan Salam

Orang suku Batak senantiasa dikenal dengan sapaan salam “Horas” nya. Namun sebenarnya, sapaan salam pada masing-masing etnis Batak ternyata tidak sama satu sama lain.
  1. Etnis Pakpak : “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
  2. Etnis Karo : “Mejuah-juah Kita Krina!”
  3. Etnis Toba : “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”
  4. Etnis Simalungun : “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
  5. Etnis Mandailing dan Angkola : “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”
Meskipun terlihat berbeda, namun pada dasarnya secara makna hampir sama. Secara arti kurang lebih adalah saling mendo’akan untuk sehat selalu atau kurang lebih  artinya “kiranya kita semua dalam keadaan selamat dan sejahtera”.Ucapan salam ini biasa diucapkan dengan lantang dan keras, tujuannya untuk menunjukkan kesungguhan sekaligus rasa senang dan mempererat rasa kekeluargaan.
Bagi suku Batak, mengungkapkan salam merupakan suatu keharusan karena menunjukkan rasa saling menghormati satu sama lain. Dengan ucapan salam, maka setiap perjumpaan akan menjadi perjumpaan kekerabatan yang cair dan nyaman untuk saling mengungkapkan maksud pertemuan satu sama lain.

Adat Mangulosi

Mangulosi adalah adat tradisi memberikan kain ulos (kain tenun khas Batak) kepada seseorang. Tradisi ini lazimnya selalu dilaksanakan pada upacara pernikahan. Tidak sembarang orang bisa melaksanakan adat mangulosi. Hanya mereka yang disebut sebagai hula-hula yakni orang-orang yang dituakan dalam suku Batak yang bisa memberikan ulos pada tradisi mangulosi. Baik yang memberikan kain ulos maupun yang menerimanya haruslah sama-sama mengerti makna pemberian kain ulos tersebut.
Bagi orang suku Batak, kain ulos sendiri memiliki makna yaitu memberikan perlindungan dari segala keadaan yang dipercayai oleh orang Suku Batak. Sehingga, makna mangulosi adalah simbol pemberian berkat dan perlindungan. Oleh sebab itu mangulosi hanya bisa diberikan oleh mereka yang tua kepada mereka yang muda.
Selain itu, warna dasar pada kain ulos sendiri memiliki arti yang berbeda-beda. Kain ulos memiliki tiga warna dasar yakni merah, putih, dan hitam. Ketiga warna ini menunjukkan status sosial pemakainya, yakni :
  1. Warna merah, digunakan hanya oleh keluarga dengan marga yang sama.
  2. Warna putih, hanya digunakan oleh pihak boru, pihak keluarga suami.
  3. Warna hitam, hanya digunakan oleh pihak keluarga wanita.
Kepribadian Suku Batak:
Anak adalah segalanya bagi orang Batak

1. Anakkonhido Hamoraon diau (Anakku adalah kekayaanku).
    Memiliki anak adalah sebuah kekayaan yang tidak ternilai bagi suku batak. Anak itu akan bernilai lebih jika anaknya itu adalah laki-laki apalagi jika itu adalah anak sulung, ini ibarat sebuah berkat yang sangat besar bagi keluarga suku batak. Anak laki-laki nantinya akan menjadi pewaris marga dari orang tua laki-laki.
Bagi keluarga Batak yang tidak memiliki anak laki-laki, misalnya jika anak ke 1 sampai ke 5 masih perempuan, orang tuanya akan tetap berusaha mendambakan anak laki-laki sehingga keturunannya bahkan menjadi 7 orang bahkan 9 orang. 

2. Hagabeon, Hasangapon, Hamoraon ( Kesuksesan, Kehormatan, Kekayaan).
     Sukses, Hormat, dan Kaya adalah dambaan orang Batak/
Ini adalah ukuran keberhasilan dalam suku batak. Menjadi berhasil itu harus sukses, kaya, dan dihormati. Sukses yang dimaksud bisa berupa sukses dalam bidang pendidikan, usaha, berkarir dan lain-lain. Kehormatan dalam suku Batak digambarkan dalam pergaulan sehari-hari, dimana ketika bergaul selalu santun, memiliki jabatan sosial yang tinggi dalam pergaulan maupun dalam adat.
Untuk kekayaan, sebenarnya kekayaan dalam suku Batak itu relatif, tergantung cara kita membandingkan dan memaknainya. Orang Batak kaya jika semakin banyak memberi kepada orang lain, maka semakin banyak pula yang akan membalaskan pemberian itu kepadanya, begitu juga dengan sebaliknya. Jadi hidup orang Batak itu penuh dengan pemberian dan penerimaan berkat.

3. Tidak akan menikah sebelum hidup mapan.
     Sebelum menikah, orang Batak diharuskan hidup mapan baik bagi laki-laki maupun perempuan, so, jangan heran jika anda banyak menemukan perawan tua dan perjaka tua di suku Batak, itu karena tuntutan yang satu ini. Walaupun begitu, semua orang sepertinya mengamini prinsip ini karena coba anda bayangkan, anda menikah tetapi belum punya pekerjaan, mau makan apa nanti anda?Selain itu, tuntutan hidup mapan agaknya berkolerasi positif dengan biaya pernikahan karena biaya yang dikeluarkan untuk pernikahan orang Batak itu tidak sedikit.

4. Dalihan Natolu.
    Ini adalah prinsip yang terbilang sakral bagi suku Batak karena disetiap adat dan acara Batak pasti kata-kata ini selalu diucapkan. Dalihan Natolu artinya tiga aturan utama yang harus dipatuhi sebagai orang Batak, yaitu Somba Marhula-hula (Hormat kepada keluarga pihak istri), Elek Marboru (harus bisa mengayomi wanita), Manat Mardongan Tubu (bersikap hati-hati kepada teman semarga).Tanpa Dalihan natolu, hidup orang Batak tidak akan memiliki kekerabatan yang erat seperti sekarang ini. Dalihan natolu juga sebagai fundamentalisme kehidupan yang sebenarnya selaras dengan kehidupan berbangsa dan bernegara yang diatur oleh Pancasila sebagai dasar Negara kita.

5. Tidak akan pulang kampung sebelum sukses.
     Prinsip ini dianut oleh perantau Batak. Pulang kampung sebelum sukses hanya ada ketika acara penikahan keluarga dan ada keluarga yang meninggal, selebihnya tidak ada alasan untuk pulang kampung sebelum bisa membawa mobil mewah kembali kekampung, atau mendirikan rumah besar dikampung. Makanya, ditanah perantauan seperti di Jakarta, Bandung, Surabaya, Kalimantan banyak kita temukan orang Batak yang berwirausaha dengan tujuan “sukses dulu baru pulang kampung”.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang IT

Tugas Bisnis Informatika logitech